Pandji dalam Indiepreneur

Membaca Indipreneuer dari sejak pertama melihat covernya yang menarik benar-benar membuat saya jatuh hati. Saya belum pernah membaca satu pun buku yang ditulis oleh Pandji. Dan mengapa saya memilih buku ini sebagai buku pertama Pandji yang saya baca tentu dengan alasan karena saya tertarik dengan tema yang buku ini tawarkan.
Melihat entrepreneur diubah menjadi indiepreneur tentu jadi daya tarik sendiri. Tanpa keraguan saya langsung penasaran apa isinya. Dan semakin dalam saya membacanya, saya sampai pada kesimpulan bahwa Pandji benar-benar seorang pebisnis yang menghibur. Saya katakan ini karena tidak saja saya tidak begitu tahu lagu rap yang dia ciptakan, buku-buku yang ditulis, di antara semua subjek yang dia geluti mungkin hanya stand up comedy yang paling sering saya liat. Meski dengan begitu saya sendiri juga lagi-lagi belum pernah datang langsung melihat tour stand up comedy Pandji yang pernah dia gelar. Tetapi setelah membaca Indiepreneur, bisa dipastikan saya akan semakin penasaran dengan semua hal yang Pandji geluti selama ini.
Di buku ini diceritakan bagaimana Pandji yang selama ini kita kenal ternyata juga membangun sebuah bisnis yang tidak saja sustainable tetapi juga adalah sebuah bisnis yang kuat secara personal branding. Berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun dalam pemasaran, Pandji mampu membuktikan sendiri bahwa seorang pekarya saat ini bisa hidup layak dari karyanya sendiri. Dan semangat ini tentu saja berusaha ditularkan Pandji dengan menulis buku ini. Dari bagaimana membangun personal branding yang kuat, membentuk tim kerja pendukung hingga menciptakan metode yang dia sebut Free Lunch Method dan GR8-8. Nah, lebih jauh tentang metode tadi bisa kalian baca di buku tersebut.
Dan satu lagi yang menurut saya menjadi nilai tambah dalam buku ini yaitu tentang bagaimana Pandji bercerita segalanya dengan lugas, seperti story telling dan tidak terkesan menggurui. Gaya bahasa inilah yang membuat saya sendiri suka dengan cara Pandji bercerita semua hal menarik di buku ini. Hingga tidak terasa saya sudah selesai membacanya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan buku entrepreneurship lain yang pernah saya baca. Semua pesan seolah mudah untuk dikerjakan hanya bagi mereka yang benar-benar ingin berkarya dan ingin karyanya dapat menghidupinya. Mari dicoba!

Salam.

[Review Buku] Berdamai Dengan Hidup yang Getir

“Antara Jakarta dan Los Angeles barangkali bukan jarak yang jauh buatku, tapi antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh.” –Hal 88.

Barangkali beginilah yang berusaha Eka Kurniawan sampaikan tentang sekelumit kisah hidup para tokoh-tokohnya dalam buku kumpulan cerpen “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.”Bagaimana pada akhirnya kegetiran hidup yang kita alami benarlah nyata dan sebaik apapun kita menjalaninya, kegetiran itu pastilah harus kita lewati. Eka Kurniawan yang merupakan salah satu penulis Indonesia dengan karya-karya yang unconventional, seperti pujian yang dilontarkan oleh The Jakarta Post, kali ini menerbitkan kembali 15 cerita pendeknya yang memukau.

Ke-15 cerita pendek dengan lika-liku kehidupan bukan hanya tentang manusia tetapi juga tentang bagaimana binatang-binatang mengalami sebuah kisah yang diambil dengan sudut pandang yang tidak biasa oleh sang penulis. Dalam cerpen Gincu ini Merah, Sayang, Eka berusaha menceritakan tentang pahitnya kehidupan rumah tangga seorang mantan wanita tuna susila yang kemudian berusaha mendapatkan kebahagiaan melalui pinangan seorang pelanggannya. Dibayang-bayangi oleh kehidupan masa lalu yang begitu lekat di antara dirinya dan sang pelanggan, kecurigaan muncul perlahan-lahan dalam rumah tangga mereka. Prasangka antara satu dan lainnya membuat Marni, keluar malam untuk mencari suami yang dicurigainya tersebut dan lantas mendapatkan kepahitannya yang lain.

Begitu pula yang terjadi pada sosok perempuan bernama Maya yang patah hati ditinggal kekasihnya pada cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, dengan berbekal mimpi yang didapatnya terus menerus, Maya mencari cintanya tersebut sampai ke tepi pantai di sebuah kota. Sebelum akhirnya menyadari bahwa cinta yang dia cari ternyata tidak ada di sana.

Lebih unik lagi apa yang dialami oleh tokoh utama dalam kisah Pelajaran Memelihara Burung Beo, sebuah pelajaran penting telah diambil sang tokoh dengan perbandingan yang meski terlampau sederhana, tetapi begitu kuat membekas dalam dirinya tentang apa yang selama ini dia alami dalam hidupnya. Menjadikan burung beo sebagai subtitusi keberadaan anak dalam hidupnya yang hampir sempurna ternyata menyisakan tragedi di akhir cerita.

“Satu pelajaran lagi diperoleh Mirah demi mengenang saat itu: jangan pernah jatuh cinta hanya karena lama tinggal di bawah satu atap. Juga jangan jatuh cinta hanya karena lama berbaring di atas ranjang yang sama. Yang paling tolol dari semuanya adalah, menurut Mirah, jangan punya anak hanya karena jatuh cinta.” –hal 153.

image

Bagaimana para tokoh-tokoh ini menghadapi pasang dan surut kehidupan dalam kisah-kisahnya begitu menarik untuk ditelusuri. Berusaha berdamai dengan kegetiran yang pada akhirnya harus kita terima menjadi pelajaran kunci dari kisah-kisah tersebut. Bisa jadi bahkan ketika semua kisah dan tragedi yang hadir itu berlalu kita masih harus tetap berdiri dan hidup yang masih panjang ini masih perlu untuk diteruskan bagaimanapun keadaannya. Beberapa kisah tentang binatang yang berusaha Eka main-mainkan dalam ceritanya sedikit banyak menggambarkan tentang bagaimana manusia kadang terlampau berkuasa dan menindas terhadap sesama makhluk hidup yang ada di muka bumi.

Terlihat dalam beberapa cerpen seperti, Membuat Senang Seekor Gajah, Setiap Anjing Boleh Berbahagia, dan Kapten Bebek Hijau. Ketiga cerita pendek yang berusaha mewakilkan apa yang dirasakan oleh binatang-binatang yang menjadi objek dalam kisah tersebut. Seperti tidak mungkin seekor gajah menjadi senang ketika kemudian dipotong-potong oleh dua orang anak kecil hanya untuk memenuhi keinginan sang gajah untuk masuk ke dalam kulkas. Atau ketika seekor bebek berwarna kuning yang lantas karena suatu kejadian membuat bulu kuning yang menjadi kebanggannya tersebut berubah warna menjadi hijau, sang bebek pun dengan kegigihannya mencari jalan keluar agar bulunya menjadi seperti semula. Dari ketiga cerpen tentang binatang ini, kisah tentang anjing yang buduk yang mencari kebahagiaan dari seorang wanita yang kemudian membuat dirinya ‘terbuang’ seperti apa yang dirasakan oleh sang anjing benar-benar menarik. Yang pada akhirnya membuat kita menyadari bahwa ketika keterasingan itu dirasakan oleh manusia, ternyata kita bisa memberikan kebahagiaan yang sama pada mahkluk hidup yang lain, sekedar untuk menghapus rasa keterasingan manusia itu sendiri.

Para penggemar karya Eka Kurniawan tentu menanti-nantikan karya kumpulan cerpen ini dengan senang mengingat dalam jurnal blognya sendiri, Eka berkata bahwa menerbitkan satu kumpulan cerpen dalam setahun dirasa cukup bagi dirinya. Dan inilah ke-15 cerita pendek yang menurut saya tidak kalah dengan karya-karya besar Eka Kurniawan lainnya. Sehingga ketika pada akhir membaca karya ini, orang yang bahkan belum pernah bersentuhan dengan karya-karya beliau pun akan sependapat dengan apa yang dikatakan oleh The Jakarta Post tentang penulis Indonesia satu ini, “an unconventional writer.”

Salam.

Kata-kata Memasuki Dirimu

Saya memikirkan tentang apa yang telah disampaikan oleh Dee Lestari ketika saya menghadiri Dee’s Coaching Clinic yang diadakan oleh Bentang Pustaka baru-baru ini. Saat itu saya mengikuti kelas menulis singkat tersebut di Solo yang menjadi kelas pertama yang beruntung mendapatkan kedatangan seorang Dee Lestari untuk mengetahui bagaimana proses kreatif yang beliau lakukan dalam menulis karya-karya hebatnya selama ini.

Kelas dimulai pada pukul 8.30 pagi hari di sebuah hotel mewah bernama Hotel Sunan di salah satu sudut kota Solo. Sebelum menghadiri kelas tersebut, perjalanan saya telah dimulai jauh sebelumnya, karena saya berasal dari Bandung dan sampai di Jogja, baru kemudian berangkat menuju Jogja dengan mengendarai sepeda motor pada pukul 5.30 pagi hari itu. Singkat kata, apa yang saya dapatkan ternyata benar-benar bermanfaat dan memang jarang sekali kita bisa mengetahui bagaimana proses kreatif dari seorang Dee Lestari dalam sebuah sesi khusus yang berlangsung selama hampir dua setengah jam tersebut.

IMG_20150315_075520

Ada beberapa hal yang saya tangkap selama proses sharing tersebut. Dan ini sebenarnya adalah salah satu hal yang sebelumnya sudah saya pahami terlebih dahulu. Tidak hanya hal ini terjadi dan dilakukan oleh beberapa penulis hebat, bisa jadi, bahkan hal ini adalah apa yang selalu para penulis di dunia lakukan terhadap karyanya dan bagaimana dia bisa berhasil sejauh yang dia harapkan. Dalam kasus Dee Lestari, saya pun melihat pola yang sama yaitu, ketekunan. Saya rasa kalau kita berbicara tentang hal apa pun, tidak selalu tentang bagaimana menjadi seorang penulis, semua bidang pun menuntut sebuah ketekunan. Yang dialami oleh Dee pun begitu, berangkat dari karirnya sebagai seorang public figure, menjadi penyanyi dan dikenal luas, lantas berusaha menerbitkan sebuah novel, beberapa cibiran datang padanya ketika itu. Beliau mengisahkan bagaimana sebenarnya dia tidak menempuh jalur konvensional dengan mengirim naskahnya ke penerbit-penerbit major, tetapi beliau menerbitkan sendiri naskahnya tersebut. Yang dengan kata lain, beliau tidak pernah mendapatkan penolakan dari penerbit ketika dinilai bahwa karyanya tidak layak terbit. Dan begitulah bagaimana beliau memulai karir kepenulisannya di Indonesia.

IMG_20150315_102040

Beberapa pembaca dan die hard fansnya yang sejak awal mengikuti karir kepenulisan beliau tentu mengetahui bahwa Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh kemudian menjadi perbincangan di kalangan pembaca saat itu. Dee pula mengungkapkan bahwa pertama kali beliau mencetak sendiri Supernova KPBJ itu, jumlahnya 5 ribu eksemplar dengan modal yang berasal dari kantongnya sendiri kemudian memberanikan diri untuk mencetak ulang buku tersebut sebanyak 2 ribu eksemplar sebagai tambahan. Masalah kemudian muncul ketika tanpa disangka, Supernova diminati oleh pasar pembaca saat itu. Barulah kemudian beliau berpikir untuk mencari penerbit yang cocok untuk menerbitkan Supernova.

Beberapa peserta yang hadir dalam kelas menulis singkat itu ada yang bertanya tentang proses kreatif Dee. Salah satu yang beliau tekankan dalam membuat sebuah cerita adalah sebuah rumus yang dikenal sebagai Drama 3 Babak. Rumus ini menurut beliau adalah sebuah cara yang semestinya kita, sebagai manusia sosial sudah begitu paham karena akan dengan secara alami melakukannya ketika kita berbicara dengan orang lain. Beliau menjelaskan bagaimana ketika kita bercerita, selalu ada sebabnya, latar belakang. Dan di sanalah kita mulai cerita kita, ada bagian kedua yang menjadi bagian panjang dari cerita kita lantas diakhiri dengan klimaks atau penutupan. Setiap cerita yang bagus, menurutnya selalu memakai rumus ini.

Kemudian tentang motivasi kenapa kemudian seorang Dee Lestari menulis, menurutnya menulis adalah suatu cara untuk berbagi dan baginya hal-hal tentang spiritualitas, manusia, dan lingkungan adalah hal yang menjadi daya tariknya ketika berbagi dalam tulisan. Dalam rangka membangun cerita, Dee berpesan bahwa seorang penulis yang baik haruslah punya keyakinan atas apa yang ditulisnya, meskipun yang ditulisnya adalah sebuah karya fiksi yang di dunia nyata tidak ada. Karena dengan penulis punya keyakinan akan apa yang ditulisnya, hal ini akan tertular kepada para pembacanya. Dee menggambarkannya sebagai “seolah-olah ada di sana dengan yakin” ada sebuah terminologi yang beliau sampaikan ketika itu, yaitu apa yang disebut sebagai Verisimilitude yaitu sebuah karya fiksi yang terasa nyata. Hal inilah yang kadang membuat pembaca meskipun berada posisi sebagai penikmat karya tetapi kadang mampu memiliki keyakinan bahwa apa yang ditulis oleh seorang penulis itu adalah benar adanya bahkan kadang melebihi keyakinan penulisnya sendiri.

IMG_20150315_093636

Beberapa peserta ada pula yang bertanya tentang teknis menulis seperti riset. Sejauh mana seorang penulis dapat melakukan risetnya? Kali ini Dee menjelaskan bahwa saat ini, di tengah maraknya media internet, kita dapat dengan mudah mendapatkan informasi melalui media tersebut. Sehingga kadang kala dengan bermodal internet saja, berbagai informasi dapat dengan mudah kita temukan jika kita tahu apa yang ingin kita cari. Lantas wawancara dengan narasumber juga menjadi sesuatu yang penting, jika kita tidak tahu mengenai suatu tempat, bagaimana rasanya berada dalam suatu kondisi di suatu negara yang kita belum pernah datangi, kita bisa mencari orang yang sudah lebih dulu singgah ke tempat tersebut. Dan di sinilah wawancara menjadi penting. Jika tempat tersebut dekat dan mudah dijangkau, kita bisa melakukan kunjungan untuk mengetahui lebih detail tentang tempat yang dituju. Hal ini dilakukan oleh Dee ketika beliau melakukan riset dalam Supernova: Gelombang. Dikatakan bahwa beliau mendatangi tempat tersebut karena konon katanya di Sianjur Mula-mulalah suku pertama bangsa Batak diturunkan. Dan untuk mendapatkan situasi, kondisi dan lingkungan yang dia inginkan dalam cerita Gelombang itu, beliau menyempatkan diri untuk singgah.

Setelah riset cyber, wawancara dan kunjungan dilakukan, satu hal lagi masih perlu dilakukan untuk mendapatkan riset yang menyeluruh untuk cerita kita yaitu riset pustaka. Bacalah sumber-sumber dari buku yang berhubungan dengan apa yang kita cari. Mengetahui apa yang ingin kita cari sekali lagi menjadi penting di sini.

Ada pula ketika sesi tanya jawab, salah satu peserta bertanya tentang bagaiman membangun sebuah karakter yang bagus. Dee menjawab bahwa karakter yang bagus adalah gabungan dari seseorang yang biasa saja dan seseorang yang tidak biasa. Kita kadang terlalu berimajinasi dengan bebas sehingga kadang lupa bahwa karakter yang kita ciptakan dalam cerita-cerita kita perlu untuk menjadi biasa. Dalam artian bahwa karakter kita harus dapat disentuh dan dibayangkan seperti apa wujudnya. Dengan ini pembaca akan mudah untuk relate dengan apa yang dialami oleh si karakter tersebut.

IMG_20150315_125739

Salah satu yang sangat berkesan bagi saya ketika mendengar Dee Lestari berbicara dan sharing tentang kepenulisan saat itu adalah tentang bagaimana pentingnya ketekunan dalam menulis. Karena baginya semakin sering kita menulis akan semakin sering kita belajar untuk menulis lebih baik lagi. Bahkan kadang Dee sendiri merasa, menurutnya bukan dia yang menulis Supernova sejak awal. Hal ini berkaitan dengan bagaimana kita mengolah ide. Dee berkata bahwa menurutnya ada semacam “hantu” yang kemudian menyuruhnya untuk menuliskan kisah Supernova tersebut. Dan kita semua tahu betapa hebatnya kisah Supernova yang saat ini sudah sampai seri ke 5. “Hantu” inilah yang kemudian membuat Dee menghasilkan karya-karya hebat lainnya. Inilah yang kemudian saya tangkap sebagai sesuatu yang lain yang memasuki diri kita.

Dee menggambarkan bahwa ide itu seperti “hantu” tersebut. Dan kita sebagai penulis hanyalah seorang “budak” yang kemudian menyalurkan apa yang diperintahkan oleh “hantu” tersebut. Saya membayangkan bahwa sebenarnya ide-ide itu berada di mana saja. Bukan kita yang kemudian mengambilnya dan menuliskannya dalam karya-karya kita tetapi ide itulah yang memilih kita. Dengan keajaibannya yang lain, ide itu kemudian beranak pinak dalam diri kita dan di sanalah karya-karya hebat siap dilahirkan. Seperti apa yang dikatakan oleh Calvin Weir-Fields dalam film Ruby Sparks pada akhir ceritanya, “The words are not coming from you but through you.”

Sesi yang berlangsung selama hampir dua setengah jam tersebut dijeda dengan coffee break yang cukup singkat, karena sama seperti saya, beberapa peserta juga sudah tidak sabar untuk melanjutkan sharing Dee Lestari hari itu. Saya mengamati dari jauh, bagaimana seorang penulis besar Indonesia berada dalam satu ruangan yang sama dengan kami-kami yang masih kroco ini untuk belajar menulis dari beliau. Mengenakan baju warna hitam dengan rambut dikuncir dan rok panjang warna biru tua membuat ibu dua anak ini terlihat anggun meskipun pada pagi itu beliau hampir sepanjang acara tidak duduk dan terus berbicara dengan bersemangat di hadapan kurang lebih 30an peserta yang hadir.

Bersama editor, penulis best seller dan penggemar.
Bersama editor, penulis best seller dan penggemar.

Saya rasa seperti inilah memang yang beliau kehendaki, di tengah para peserta yang berasal dari berbagai latar belakang, beliau menyempatkan diri untuk bercerita tentang apa saja mengenai dunia kepenulisan yang saat ini beliau tekuni. Saya duduk di sana, mengamati dari jauh, karena selain menggemari karya-karya beliau, saya rasa Dee Lestari adalah salah satu penulis wanita Indonesia yang paling dikenal saat ini. Kemudian saya melihat diri saya, merasa terlecut dengan apa yang beliau sampaikan pagi itu. Menyadari bahwa saya belum apa-apa dan menjadi lebih semangat untuk mengejar cita-cita menjadi penulis. Berapa banyak orang di dunia ini yang tidak menemukan role model dalam mengejar cita-citanya? Dan pagi itu setelah sesi yang penuh semangat dan harapan, di tengah kota Solo yang siang itu diguyur hujan, saya menemukan role model penulis saya.

 

Salam.

 

 

Bentang dan Apa Artinya Bagi Saya

Ini adalah tulisan yang saya buat dengan ketulusan yang ikhlas dan apa adanya tentang apa yang saya rasakan dan saya alami selama saya mengenal Bentang Pustaka dan buku-buku yang diterbitkannya. Pertama kali saya mengenal ada sebuah penerbitan bernama Bentang adalah sewaktu saya menghabiskan masa sekolah SMP hingga SMA di Jogjakarta. Ketika masa itulah saya sedang giat-giatnya membaca buku sastra. Saya juga ingat betapa selama di Jogjalah hasrat saya untuk memperluas bacaan saya semakin tinggi. Dari anak SMP yang biasanya hanya membaca buku-buku komik kemudian membaca buku-buku yang lebih serius seperti buku sastra. Beberapa buku yang saya baca ketika itu mengantarkan saya pada keinginan untuk menjadi penulis sastra. Dari mulai membaca buku Seno Gumira Ajidarma sampai pada buku-buku Kahlil Gibran keluaran Bentang yang ketika itu masih bernama Bentang Budaya.

Salah satu yang mudah dikenali dari Bentang ketika itu adalah dari logonya yang menurut saya cukup memorable karena mudah diingat. Jadi ketika dulu saya berkunjung ke toko buku dan melihat di deretan  rak di toko buku Social Agency yang kadang display bukunya ditumpuk berdiri sehingga yang bisa dilihat hanya judul buku dan logo penerbit di punggung buku yang dipajang saja membuat saya mudah menemukan buku-buku terbitan Bentang Budaya. Dan ketik itu saya sedang senang-senangnya pada buku-buku Kahlil Gibran. Memang saat itu umur saya masih terbilang remaja, tetapi meskipun kadang saya tidak mengerti dengan buku-buku Kahlil Gibran saya menyukainya karena kalau cewek-cewek dulu “romantis”. Dan memang benar saja cover buku Bentang Budaya ketika itu juga lain dari pada yang lain. Karena biasanya cover dibuat dengan karya seni lainnya seperti lukisan, yang banyak sekali mewarnai cover buku Bentang ketika itu.

kematian-sebuah-bangsa images cinta keindahan kesunyian nietzsche

Saya kemudian berpikir bahwa bisa jadi karena rangkaian pengalaman menarik ketika membeli sebuah buku dan kemudian buku-buku dari penerbit tersebut begitu menarik sehingga ketika ada buku lain dengan tema berbeda pun saya tetap mencari buku dari penerbit yang sama. Hal ini terjadi ketika saya suatu hari pernah membeli buku terbitan Bentang Budaya ketika di Bandung, dan buku itu adalah sebuah buku biografi Friedrich Nietszche, dari situ juga saya mengenalinya karena buku itu adalah salah satu terbitan Bentang Budaya. Saya membeli buku itu karena saya ingin belajar mengenal dunia filsafat dan Nietszche menjadi pilihannya. Oia, buku-buku di atas adalah beberapa dari koleksi Bentang Budaya yang saya miliki.

Lantas bertahun-tahun kemudian bacaan saya berkembang ke mana-mana dan tidak terfokus pada satu penerbit. Karena ya memang sejak reformasi semakin banyak saja penerbit buku yang kemudian berdiri dan cukup berkembang. Bentang Budaya yang ketika itu mengalami fase penurunan dalam hal produksi buku membuat saya kemudian sempat lupa dengan penerbit satu ini. Barulah ketika tahu bahwa ternyata Bentang Budaya diakuisisi oleh salah satu penerbit besar lainnya dari Bandung, Mizan. Saya kemudian mulai melirik kembali buku-buku terbitan Bentang berikutnya yang lantas namanya berganti menjadi Bentang Pustaka.

Di tahun 2013 lalu saya kemudian berkesempatan menimba ilmu menulis dan mengetahui seluk beluk dunia penerbitan melalui Bentang Pustaka yang mengadakan sebuah kelas menulis bernama Akademi Bercerita. Dari sini kemudian saya bisa mengenal orang-orang di belakang layar dari setiap buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka saat ini. Kemudian dari sini pulalah saya baru menyadari betapa berbedanya buku-buku yang diterbitkan oleh Bentang Budaya dulu dengan Bentang Pustaka sekarang.

Meskipun saat ini Bentang sudah mulai memperbanyak terbitan buku karya sastranya, tetapi orang mungkin lebih mengetahui Bentang Pustaka sebagai sebuah penerbitan besar yang banyak menerbitkan buku-buku populer saat ini sebut saja seperti Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya, lantas ada serial Supernova milik Dee Lestari, belum ditambah dengan berbagai macam buku mengenai travelling di mana The Naked Traveller milik Trinity menjadi primadonanya. Karena buku-buku seperti inilah kemudian saya lebih menyukai Bentang Pustaka yang ada sekarang. Terlihat bagaimana penerbit yang konon berdiri tahun 1994 ini, kemudian bertransformasi menjadi sebuah penerbitan yang berusaha menjangkau kalangan pembaca yang lebih luas lagi.

Akhir kata, kemudian saya jadi lebih banyak bergaul dan kenal dengan orang-orang hebat di Bentang Pustaka. Mas Salman Faridi sebagai CEO dan Mas Imam Ridiyanto sebagai Pemimpin Redaksi telah memberikan pelajaran menulis, pengenalan dunia penerbitan dan kadang ide-ide segar yang sekali dua kali terlontar ketika sedang dalam diskusi yang menarik. Terima kasih juga untuk Mas Solahuddin yang mengenalkan dan mengikutsertakan saya pertama kali dalam kelas Akademi Bercerita. Tak terasa sudah hampir dua tahun main bolak-balik ke Bentang Pustaka dan bertemu orang-orang kreatif di belakang layar penerbitan. Saya berharap suatu hari saya bisa menjadi salah satu penulis di Bentang Pustaka. Akan menjadi sebuah kebanggaan luar biasa bagi saya menjadi salah satu penulis dari penerbitan yang sudah sejak remaja saya kenal lewat buku-bukunya.

Dan mungkin rasanya memang seperti itu, ketika suatu pengalaman baik di masa kecil akan selalu terbawa sampai kapan pun. Hari ini Bentang Pustaka berulang tahun yang ke 11 tahun sejak pertama kali diakuisisi oleh Mizan. Sebuah angka yang menarik dan semoga penuh keberuntungan. Semoga penerbit dari Jogja ini bisa terus menerbitkan karya-karya menarik di tahun-tahun berikutnya. Saya berdoa penuh harap.

Salam.