Kemarin karena tidak sempat datang ke acara ulang tahun Mizan ke 40 tahun. Saya jadi nonton acaranya via live Instagram. Sesi yang awalnya masuk dalam konferensi pers itu menghadirkan Pak Haidar Bagir, Eric Weiner, Mas Salman Faridi dan seorang lagi penggagas logo baru Mizan Publishing.
Satu hal yang saya notice dari obrolan tersebut adalah tentang bagaimana semangat Pak Haidar ketika beliau pertama kali memulai penerbit Mizan di era 80an. Berkecimpung dalam pers Masjid Salman ketika itu, beliau mengamati bahwa pertumbuhan kelas menengah muslim di Indonesia semakin pesat dan periode itu tidak ada penerbit buku Islam yang khusus menargetkan pembaca buku-buku Islam. Ditanya oleh salah seorang seniornya di masjid kampus tersebut, apa yang hendak ia lakukan ketika lulus kuliah, beliau menjawab, bahwa ia ingin membuat penerbitan buku. Alasannya sederhana pula, beliau mengatakan bahwa penerbitan adalah satu-satunya cara menyalurkan semua kesenangan beliau waktu itu, di mana beliau menyukai membaca buku, beliau suka menulis dan beliau juga suka berdakwah. Karena itulah dipilih penerbitan buku-buku Islam yang mencakup ketiganya sekaligus.
Kemudian menjadi menarik ketika beliau bercerita bahwa sesudah lulus, banyak teman-temannya yang memilih berkarir dengan menjadi karyawan di perusahaan, menjadi PNS dan sebagainya. Pak Haidar sendiri lebih memilih menjadi pengusaha. Ini sebuah mental dan pola pikir yang berbeda di jamannya ketika itu. Belum lagi jika menilik mengapa beliau memilih membuat sebuah penerbitan demi menyalurkan kesukaan beliau tersebut. Saya jadi ingat kuotasi dari Eleanor Roosevelt yang berbunyi, “The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams,” kurang lebih menggambarkan persis begitu ya. Siapa yang tahu dan menyadari betapa mimpinya itu berharga untuk diwujudkan, masa depan akan mereka raih. Dan hal itu rasanya seperti sudah terbukti dengan perjalanan penerbit Mizan yang sudah mencapai angka 40 tahun.
Saya jadi mikir lebih jauh perjalanan hidup sendiri, saya juga pernah merasa sok jago, percaya mutlak sama mimpi-mimpi besar sendiri sebelum akhirnya dikalahkan realitas. Hehehe. Tapi rasanya selain kemampuan untuk percaya pada mimpi-mimpi kita sendiri, lingkungan yang kondusif dan mendukung juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Modal impian doang di jaman kayak begini rasanya mana sanggup bukan? Atau mungkin segalanya perihal tentang siapa yang mulai duluan kayak cerita Pak Haidar tadi? Ada momentum yang pas dan kondisi pasar yang tidak diisi oleh penerbit lain yang sudah ada waktu itu? Bisa jadi begitu sih. Rasanya komposisi kesuksesan seseorang itu juga kan tidak melulu dari kegigihan dan semangat juang diri sendiri aja.
Tapi lagi-lagi akhirnya saya jadi melihat ke belakang dan yang saya lakukan semua gak jauh-jauh dari buku. Saya sudah kenalan sama buku dan membaca sejak kecil. Mulai coba-coba menulis sejak SMA dan kenalan sama teman-teman penerbit periode 2010an. Sekarang kok malah ndilalah ya kecemplung di penerbitan juga. Rasanya ingin bersyukur banyak-banyak dan terus memenuhi mimpi-mimpi kecil yang semoga kelak menjadi besar juga. Doain ya!