Steve Jobs (1)

Salah satu buku yang ketinggalan bacanya sejak pertama kali terbit periode 2013 dan cetak ulangnya di 2014. Sampai kemudian mulai susah didapatkan di lokapasar, baru mendapatkan buku ini lagi di satu toko buku online di Shopee yang lokasinya juga cukup jauh di Medan. Kondisi masih baik, hanya kertas menguning karena lama disimpan. Harganya juga cukup terjangkau, hanya 50 ribu rupiah untuk koleksi langka ini. Karena isoman membuat waktu jadi berlimpah, akhirnya memutuskan membaca buku ini beberapa hari lalu.
.
.
Membaca sebuah biografi adalah kesenangan saya, karena dapat mengikuti jalan pikiran dan kehidupan orang-orang hebat di dunia dan orang ini adalah salah satunya. Seorang pionir besar di dunia teknologi, hippie keras kepala yang kasar sekaligus perfeksionis. Steve Jobs lahir tahun 1955 di mana Amerika baru kembali bangkit pasca Perang Dunia Kedua. Dilahirkan sebagai anak di luar pernikahan dari seorang sarjana berkebangsaan Suriah dan ibu dari lingkungan pendidikan yang ketat, Jobs akhirnya diambil anak oleh sepasang suami istri kelas pekerja yang ayahnya bahkan tidak lulus SMA. Periode paling menarik bagi saya ketika membaca buku ini di awal adalah tentang bagaimana pergolakan pemikiran Jobs tentang kehidupan, kesempurnaan dan jalan hidup yang kemudian membuatnya menjadi orang penting dalam Apple Corporation.
Setelah susah payah menjadi anak pembangkang semasa SMA, Jobs akhirnya memilih melanjutkan kuliah di Reed University, sebuah universitas yang cukup mahal pada masanya ketika itu dan kedua orang tuanya menghabiskan seluruh tabungan mereka agar Jobs dapat masuk perguruan tinggi. Masuk periode 1970-an, Amerika sedang sibuk ikut campur dalam Perang Vietnam. Berbagai kelompok bergaya hidup hippie marak dianut kaum muda, dan tumbuh di lingkungan kelompok penggemar teknologi di Cupertino, membuat Jobs  jadi pribadi yang seolah cerminan kedua kelompok tersebut. Dikatakan bahwa beliau kerap tidak mandi dan sering keluar rumah tanpa alas kaki dan menganut gaya hidup vegetarian. Diet ketat juga dilakoninya membuat ia kadang hanya makan wortel dan apel saja dengan dalih untuk mengurangi kadar lendir dalam tubuh. Itu juga alasan mengapa kadang ia bisa tidak mandi hingga sebulan lamanya.
.
.
Tiga hal yang digandrungi periode 1970an itu adalah gaya hidup vegan, musik rock, pencarian spiritual dan narkoba LSD (Lysergic Acid Diethylamide). Semuanya sempat Jobs lakukan dan mengantarkannya menjadi pribadinya yang banyak orang kenal selama ini.  Bagian kehidupan Jobs ini saya rasa adalah periode yang seolah tak habis diulas tentang masa awal bagaimana orang “model” begitu bisa menjadi orang berpengaruh dal industri teknologi. Dan tak hanya itu, Jobs juga penggemar Moby Dick, King Lear dan karya Hemingway. Saya rasa ketika itu menjadi seorang pembaca yang brilian lebih mengasyikkan di zaman ketika belum ada ponsel dan komputer. Masih sekitar 350an halaman lagi untuk selesai dibaca, bersambung nanti ya.
.
.
#SteveJobs #ReviewBuku #BookReview

Zlatan dan Dunianya

Saya selalu suka buku-buku biografi yang ditulis dengan baik dan buku ini adalah salah satunya. Kisah hidup seorang pesepakbola bengal bernama Zlatan Ibrahimovic. Penuh dengan kisah-kisah inspiratif seputar sepakbola, bagaimana pengalaman masa kecil dan kehidupan yang sulit sebagai anak imigran di Swedia membentuknya sebagai seorang pemain sepakbola profesional yang dipenuhi dengan gemerlap kemewahan dan popularitas. Tetapi bukan Zlatan namanya jika tidak selalu mengundang kontroversi dan di sinilah menariknya kisah hidup beliau ditulis. Dimulai dari kehidupan masa kecil yang dijerat kemiskinan, kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua hingga kekerasan di jalanan yang membuat sepakbola menjadi pelariannya akan kehidupan sulit itu.

Zlatan buat saya sendiri adalah teladan yang baik tentang bagaimana konsisten dan berani bertanggung jawab terhadap semua pilihan kita dalam hidup. Kisah hidup Zlatan penuh petualangan menggemparkan bahkan ketika beliau semakin dikenal di dunia sepakbola. Perangainya yang tegas, keras dan kerap dianggap masalah membuat dia kerap menjadi bulan-bulanan media dan lawan mainnya di lapangan, tetapi Zlatan selalu membuktikan dirinya memang layak dihormati sekaligus ditakuti ketika sudah di dalam lapangan, segenap prestasi dan penghargaan telah diraihnya, meski mereka yang membencinya selalu saja memberikan cemooh bahwa ia tak pernah memenangkan Liga Champions atau Piala Dunia. Mungkin itu yang tidak layak ditiru dari Zlatan, kebiasaannya untuk berpindah-pindah klub. Sepanjang karir sepakbolanya, jarang sekali Zlatan bertahan lebih dari 5 tahun. Yang terakhir memang agak lama, di PSG. Dan ia tetap belum memenangkan Liga Champions di klub kaya raya itu. Akan menarik mengikuti kisah Zlatan berikutnya selama di PSG dan MU lantas balik lagi ke AC Milan sekarang.
Penulisan buku ini melibatkan seorang penulis biografi lainnya yang menurut saya membuat buku ini layak dikoleksi untuk penggemar sepakbola, diceritakan dengan ringan, penuh ketegangan dan guyon hingga saya rasanya seperti membayangkan Zlatan sendiri yang bercerita pada pembacanya. Satu hal yang penting dari kisah Zlatan di buku ini adalah tentang bagaimana kita harus menghargai dari mana kita berasal, Zlatan berasal dari sebuah desa di Swedia, bernama Rosengard. Di sanalah Zlatan kecil dibentuk dan menjadi Zlatan yang kita kenal. Ada kutipan manis dari buku ini yang kemudian menjadi tulisan grafiti dari salah satu jembatan di desa itu,berbunyi begini:


“Seorang bocah bisa pergi dari Rosengard, tapi Rosengard akan tetap tinggal dalam tubuh si bocah.”

Siapa Bilang Orang Paisano Lugu?

Saya membaca Dataran Tortilla dengan ekspektasi tinggi bahwa ini adalah salah satu karya terbaik John Steinbeck yang mengangkat kisah orang-orang jelata keturunan Indian, Meksiko, Spanyol dan Kaukasia di Amerika periode tahun 30an. Dengan tokoh sentral Danny yang mendapatkan durian runtuh berupa dua buah rumah warisan dari kakeknya yang baru saja meningga, Danny mengajak teman-temannya sesama pengangguran untuk tinggal di rumah kosong tersebut. Dari satu orang, kemudian sejalan dengan berjalannya cerita, rumah Danny semakin sesak oleh teman-temannya yang menumpang tinggal di rumah itu.

Berlatar tempat di sebuah dataran tinggi di daerah Monterrey, California pasca Perang Dunia I, orang-orang muda ini menganggur, kesulitan menghadapi hari-hari mereka sambil terus berharap mendapatkan anggur dari berbagai barang yang mereka jual atau tukarkan pada sebuah kedai anggur di daerah tersebut. Kisah ini adalah kisah beragam manusia yang ajaib dalam menyikapi hidup yang getir. “Tak makan biarlah, yang penting anggur selalu menyegarkan haus kita!” begitu pedoman yang Danny dan teman-temannya selalu amini setiap hari. Rumah yang Danny miliki ini seolah menjadi gambaran betapa hidup dengan kepemilikan malah menjadi beban bagi mereka yang terlalu lama hidup dalam kebebasan. Danny adalah salah satu di antara manusia bebas itu, ia kerap tidur di mana saja dan makan dari apa saja yang bisa dimakan tetapi seringkali dia tak bisa menolak untuk menenggak anggur dari  siapa saja.

Ketika memiliki rumah, rumah ini pun tak bisa digambarkan sebagai rumah mewah dengan berbagai perabotannya. Justru rumah ini adalah rumah biasa dengan pekarangan tidak terawat yang membuat Danny dan kawan-kawannya memiliki pekerjaan rutin untuk memotong rumputnya. Tetapi persahabatan Danny dan kawan-kawannya begitu kokoh dengan adanya anggur di antara mereka.

“Pilon, aku bersumpah. Apa pun milikku adalah milikmu juga. Bila aku punya rumah, kau pun punya rumah. Nah. Berilah aku minum.” Hal. 8.

Begitulah awal bagaimana Pilon, salah satu kawan karibnya yang sempat mencoba masuk pasukan tentara, ikut mendiami rumah Danny. Setelah Pilon masuk, muncullah Pablo, Jesus Maria yang terkenal dengan kedermawanannya meski juga selalu miskin, Si Bajak Laut dan Big Joe. Dua rumah yang mereka diami ternyata tak sanggup jua bagi mereka untuk mengurusnya hingga sebuah petaka menghampiri mereka. Kebakaran yang bermula dari sebatang lilin dengan cepat melahap seisi rumah yang diisi oleh Pilon, Pablo dan Jesus Maria yang menempati rumah kedua.

Fragmen demi fragmen cerita menyelimuti keseluruhan novel ini dari awal hingga akhir. Tentang bagaimana di tengah himpitan kesulitan dan kemiskinan, orang-orang Paisano ini menemukan jalan untuk berderma dan menolong seorang wanita dengan tujuh anak dan seorang nenek yang renta. Belum lagi tentang campuran mistis di mana mereka berusaha menemukan harta karun gaib yang menjadi legenda juga tentang keinginan Si Bajak Laut untuk menepati janjinya memberikan tempat lilin bagi orang suci St. Francis yang akan ditempatkan di gereja. Kisah tentang persahabatan yang melampaui persaudaraan ini begitu menyentuh dan sederhana. Saya sendiri menemukan betapa banyak sekali guyonan dan lelucon yang muncul sepanjang cerita yang membuat kisah orang-orang lugu ini menjadi semakin berarti dan menarik untuk ditelusuri. Rasanya tak bosan menemukan kejenakaan dari orang-orang yang menemukan kebahagiaan di tengah kesulitan ekonomi mereka sendiri. Dan tentu saja bagi Danny dan teman-temannya, anggur adalah sesuatu yang akan membuat mereka semakin erat menjalani hari-hari.

“Bila rumah itu masih ada, pasti aku masih mempunyai rasa tamak atas sewa rumah. Dan kawan-kawanku akan bersikap dingin terhadapku karena mereka berutang padaku. Kini dengan lenyapnya rumah itu, kami kembali bebas dan bahagia lagi.” Hal. 48

Saya kok malah membayangkan orang-orang Paisano sendiri adalah orang Amerika dengan bahasa inggris yang fasih tetapi jika ditanya tentang asal usul mereka akan selalu mengaku bahwa mereka berasal dari darah Spanyol tulen. Dan bisa jadi dari sinilah sikap arogan itu bermula. Keinginan mereka untuk terus dapat menikmati sebotol dua botol anggur kerap menimbulkan masalah tidak hanya untuk mereka sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya yang mengenal mereka. Wanita-wanita kesepian yang menjadi alasan mereka datang di malam hari sebagai teman kencan, atau Si Torelli yang kerap menjadi tumpuan dalam mendapatkan sebotol anggur lewat barter barang di antara mereka.

Tetapi Danny adalah ketua dalam persahabatan ganjil tersebut. Dan seringkali hak dan kehormatannya seperti tidak dianggap oleh teman-temannya ini yang hidup menumpang rumah tersebut tanpa membayar sepeser pun. Dan lama-kelamaan pikirin ini menghantuinya dan mulailah kegilaan Danny yang macam-macam itu. Kegilaan yang hanya bisa kita bayangkan sebagai sebuah sakit hati belaka bagi makna persahabatan mereka. Dari sini kita bisa melihat betapa piawai Steinbeck menutup akhir kisah Danny dan kawan-kawannya  ini dengan akhir kisah yang tak diduga sebelumnya. Ya, apalah arti sebuah kisah yang bisa ditebak, bukan? 

Kenangan-Kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub

Sebuah kisah unik tentang seekor beruang arif, humoris dan penuh perenungan yang menjadi korban dari kebiadaban manusia. Diceritakan Baltazar bukanlah seekor beruang putih dari Kutub pada umumnya. Dengan perenungan dan pemikirannya dia berusaha memahami bagaimana manusia, Tuhan, cinta dan kehidupan yang ada di sekitarnya dalam waktu-waktunya berdiam diri di dalam kandang beruang sebuah kebun binatang di kota. Sebuah alegori menarik tentang bagaimana binatang memahami manusia — alih-alih manusia memahami binatang dan alam– dan berusaha menerima semua yang terjadi dalam hidupnya sambil beranggapan bahwa “kuperoleh kebebasanku saat berada di balik jeruji penjara dan bahkan aku menganggap diriku lebih tinggi dibanding para pengurungku.” Hal. 66.

Kisah Baltazar menjadi bahan perenungan bagi manusia untuk bisa memahami dunia dan isinya dari sudut pandang seekor binatang yang direnggut paksa dari habitatnya hanya untuk menjadi bahan tontonan di kebun binatang kota. Baltazar yang awalnya takut dan cenderung menutup diri kemudian menemukan semacam oasis bagi pikirannya dalam bentuk berbagai interaksi dengan anak-anak kecil yang sering berbagi makanan kepadanya. Sebagaimana juga manusia, Baltazar pun menceritakan kisah cintanya sewaktu masih menjalani kehidupan di Kutub. Menganggap bahwa “itulah hari-hari keceriaan dan kegembiraan tak bertepi, dengan kebaruan-kebaruan yang terus terasa menyegarkan.” Hal. 32.

Baltazar menggambarkan kisah cinta dengan pengalaman yang bisa dibilang sama dengan apa yang kita alami sebagai manusia. Sebuah kisah cinta monyet yang manusia paham betul, tak ada dari kisah itu yang bisa menjadi nyata atau diselamatkan. “Beruang-beruang betina, yang kelihatan biasa saja sewaktu kecil, sekonyong-konyong bersinar dengan cara yang berbeda, dan aku mendapati bahwa mereka memancarkan kebetinaan yang membuat jantungku berdetak lebih kencang, menyebabkan kebungkaman-kebungkaman panjang yang memalukan dan, paling parah, kikuk terbata-bata.” Hal. 33. Manusia mana yang tidak merasakan perasaan itu pada cinta monyetnya dulu?

Pada akhirnya saya harus menempatkan kisah Baltazar sebagai salah satu buku favorit saya, kisah pendek yang ganjil tetapi sarat makna ini sudah selayaknya mengisi rak buku para penggemar kisah-kisah yang ditulis oleh para penulis Amerika Latin. Belum lagi ditambah dengan begitu kayanya buku ini dengan kalimat-kalimat yang quoetable. Lebih jauh semoga bisa menjadi salah satu buku yang menawarkan bahan renungan dan pemikiran baru bagi pembaca yang baru mengenal Baltazar. Mungkin saya harus menahbiskan si beruang Kutub menjadi salah satu cendikiawan dari bangsa binatang.

Menemani Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman


“Bukankah setiap makhluk hidup di dunia mendambakan surga, walau secuil saja, sehingga rela mengembara ke mana pun demi menemukannya?” Hal. 91.

Saya selalu suka dengan kisah fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Hal ini membuat saya selalu ingin tahu bagaimana dan seperti apa tokoh-tokoh aslinya di dunia nyata, membanding-bandingkan juga mereka setiap kisah dan perkataan yang bisa jadi pernah ada. Dan buku ini adalah salah satu dari kisah nyata yang bukan saja dikemas dengan baik oleh penulisnya tetapi juga menawarkan suatu pemikiran yang mendalam terutama bagi saya pribadi. Saya menimbang-nimbang hal apa yang begitu kuat menjadi pesan dalam buku ini ketika akhirnya berhasil menamatkannya. Dan saya sampai pada kalimat di halaman 91 seperti tertera di atas.

Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman adalah sebuah novel getir tentang kehidupan orang-orang yang terpinggirkan, dalam hal lain saya bisa bilang bahwa mengangkat kisah ini tentu adalah keberanian tersendiri bagi penulisnya. Bayangkan tentang tokoh-tokoh yang berprofesi sebagai waria dan tokoh agama yang memilih Ahmadiyah sebagai jalan dakwah. Di Indonesia kombinasi keduanya sudah barang tentu adalah hal yang ajaib. Yang satu dianggap sampah masyarakat yang satu lagi dianggap organisasi terlarang bahkan dimusuhi oleh orang Islam sendiri. Kita diajak menyelami sisi manusiawi tokoh Rara Wilis dalam profesinya sebagai waria dengan kenyataan yang sebenarnya cukup mengagetkan pembaca di awal dengan kalimat “pada Jumat siang yang gerah di pertengahan tahun 1994, Mbok Wilis memakai sepatu tumit tinggi untuk bertemu dengan seorang nabi.” Pada kalimat pembuka ini saja sebagai pembaca kita seolah dibuat takjub dan penasaran, seorang yang biasa dipanggil dengan sebutan “mbok” memakai sepatu tumit tinggi tentu adalah hal yang aneh sekaligus lucu bukan main apalagi ketika hal itu dilakukan ketika hendak bertemu seorang nabi. Ini adalah salah satu kalimat pembuka favorit saya selain kalimat pembuka dalam novel Cantik Itu Luka, dan hei, keduanya menggunakan cara yang sama sepertinya ya?
Rara Wilis yang waria menjalani hidup sehari-hari dengan nyebong alias melacurkan diri di jalanan. Tapi waria yang satu ini bukan sembarang waria karena dia adalah waria yang berpengaruh di wilayahnya. Pasar surut kehidupan Rara Wilis ditulis beriringan dengan kisah seekor babi lumpur yang menjadi alegori luar biasa dalam setiap irisan cerita. Alur cerita yang maju dan mundur ditulis sedemikian lancar dan mengalir, meski secara pribadi saya sempat memberikan jeda membaca buku ini karena merasa tidak “terikat” dengan buku-buku yang menggunakan alur seperti ini tetapi begitu masuk pertengahan buku, kita akan diajak memahami cara berpikir tokoh utama dan apa yang menjadi tujuan hidupnya kelak.

Jangan lupakan kisah tentang Pak Wo, pedagang jamu keliling yang juga seorang Ahmadiyah. Periode tahun 90an organisasi ini sudah menjadi sesuatu yang dianggap meresahkan dan tak ketinggalan tokoh kita satu ini juga mengalami periode-periode sulit tersebut. Yang semakin menjadi momok tentu saja ketika seseorang berusaha mengajarkan apa yang sudah ia pelajari dalam Ahmadiyah kepada orang banyak. Diramu dengan kesukaannya akan kisah wayang purwo membuat dakwah unik Pak Wo menjadi sesuatu yang ditolak orang-orang sekelilingnya.
Sesuatu yang sangat prinsipil seperti memilih menjadi waria dalam tokoh Rara Wilis dan mengemban dakwah Ahmadiyah pada tokoh Pak Wo diangkat ke permukaan dalam jalinan drama di mana si lemah akan dikalahkan dan yang berbeda akan disingkirkan. Kita melihat betapa negara kita belum ramah terhadap perbedaan apalagi jika menyakut agama atau pilihan hidup seperti dua tokoh kita tadi. Padahal sejatinya setiap orang tentu memiliki pandangan-pandangannya sendiri yang dipercayai dalam membentuk karakternya.
Yang menjadi daya tarik dari kisah ini adalah tentang bagaimana penemuan jati diri mampu mengantarkan seorang manusia menempuh berbagai jalan terjal dan berliku. Kita juga perlu memahami betapa kasih sayang Tuhan tak akan habis dan tak luput kepada semua makhlukNya.

“Lebih baik mati karena berusaha untuk hidup, ketimbang mati karena tidak mampu bertahan hidup.” Hal. 131.

Apalagi yang cukup kuat memotivasi manusia dalam mengarungi setiap cobaan hidup selain kenyatan bahwa kita semua mengharapkan akhir yang bahagia. Betapa setiap dari kita dalam menemui persoalan dalam hidup tentu berharap akan datangnya sebuah cahaya di ujung terowongan sana dan kita akan serta merta menghamburkan diri padanya. Baik tokoh Rara Wilis dan tokoh Pak Wo bisa jadi adalah orang-orang kecil yang terpinggirkan dari masyrakat kita yang memuja segala hal yang normal dan penuh dengan status quo. Kedua tokoh ini seolah menjadi kebalikan dari apa yang selama ini kita jumpai. Mereka adalah orang-orang yang nyata dan menemukan persoalannya sendiri setiap hari, seraya terus mengharap surgaNya kelak mereka mungkin berbelok arah, berbuat dosa lagi tetapi jalannya tetap kepadaNya.

Saya membayangkan Rara Wilis dan Pak Wo sebagai dua sosok manusia yang sama seperti kita dan memerlukan perhatian dan penghargaan yang sama jua.
Salah satu perhatian saya dalam novel ini adalah tentang betapa kaya kosakata dan bahan mentah materi sang penulis dalam meramu kisah nyata ini menjadi sebuah fiksi. Disuguhkan dengan adegan babi dan segala polahnya satu hal, mengakrabi kehidupan malam para waria ketika melacur adalah soal lainnya dan inilah yang menjadi kekuatan novel ini menggiring pembaca hingga tamat. Saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan penting di akhir tahun dan tentu saja sebagai bahan renungan di awal tahun nanti, sudah benarkah selama ini jalan kita menuju surgaNya?