Saya mendadak teringat dengan kalimat yang menjadi judul di atas itu ketika membaca buku 50 Kisah Tentang Buku, cinta, dan Cerita-cerita di Antara Kita karya mas Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka. Tapi uniknya hal itu bukan secara langsung dikatakan oleh beliau dalam salah satu tulisannya di buku tersebut, kalimat itu muncul sebagai sebuah endorsement dari Dee Lestari yang tampil di halaman belakang buku tersebut. Dan lagi kalo diajak untuk merenungkan masa depan sebuah budaya literasi bangsa seperti Indonesia ini, rasa-rasanya kok apa yang mau saya kemukakan menjadi hanya satu di antara begitu banyak tulisan menarik dan informatif lainnya tentang gerakan literasi kita.
Pertama saya pribadi menyenangi buku yang ditulis mas Salman ini akhirnya terbit dan saya bisa puas bacanya. Rasanya seperti baru saja diberitahu akan sebuah dunia yang saya senangi dengan berbagai macam informasi baru dan tentu saja, aktual. Mas Salman sebagaimana setiap saya temui dan memiliki kesempatan untuk ngobrol selalu penuh dengan ide-ide dan cerita baru tentang apa saja. Dan hal paling menarik bagi saya tentu saja adalah tentang buku dan industrinya. Mempelajari industri ini dari seorang pemimpin penerbitan besar di Jogja secara langsung tentu menyenangkan.
Di tengah begitu maraknya bisnis penjualan buku secara online dan berkembangnya ebook, mas Salman menjadi salah satu orang yang masih setia dengan buku fisik meski tidak secara serta merta menyingkirkan perkembangan yang ada. Saat ini sudah berapa banyak buku elektronik yang bisa kita dapatkan di Playstore, terbitan Bentang Pustaka terutama.
Beliau berpendapat bahwa kunci utama memenangkan pertempuran dalam bisnis buku yang semakin kompetitif ini tidak lain kecuali menggaransi mutu konten. Sia-sia saja membugnkus konten yang busuk dengan penampilan yang cantik sebab pada akhirnya pembaca akan tahu dan kecewa berat.
Periode 1990-an menjelang runtuhnya rezim Soeharto kita sudah menyaksikan betapa banyak buku-buku dari pemikir kiri yang terbit meski karya monumental seperti Tetralogi Buru masih dijual secara diam-diam. Begitu juga dengan maraknya buku-buku terjemahan yang muncul hingga penerbitan rasanya tidak peduli lagi akan hak cipta sebuah karya dengan alasan memberikan sebanyak mungkin karya bermutu untuk dibaca. Baru-baru ini yang saya dengar adalah tentang naskah Pedro Paramo karya Juan Rulfo yang menjadi perbicangan di media sosial bahwa sebuah perusahaan penerbitan raksasa di Indonesia sudah mendapatkan hak terbitnya secara resmi dan penerbitan lain yang sebelumnya menerbitkan karya ini mendapatkan teguran akan terbitan Pedro Paramo yang tanpa izin mereka ini.
Saat ini lapak toko buku dibanjiri buku-buku terbitan media menulis bernama Wattpad dan yang lain sejenisnya, buku-buku ini selalu menampilkan bahwa karya A sudah dibaca oleh sekian juta orang. Penambahan label seperti ini rasa-rasanya seolah menjadi jaminan bahwa karyanya akan laku. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu juga menurut saya. Ditengah gempuran buku Wattpad ini, saya rasa beberapa yang benar-benar laku. Karena sekali lagi, pembaca kita tentu merasa jengah dengan begitu mudahnya sebuah karya tampil dan menjadi buku, jika sudah mendapatkan label dibaca sekian juta orang di platform media tersebut. Memang dengan semakin berkembangnya teknologi, pertumbuhan menulis dan membaca seperti ini tidak bisa juga dihindari. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana beradaptasi secara terus menerus dan tidak mengabaikan konten yang dijual. Nanti kalo sudah begini, jangan-jangan kita juga akan melihat geliat yang sama pertumbuhan pasar fiksi remaja yang perlahan menurun. Industri cetak seolah harus patuh pada tren yang sedang terjadi pada pembacanya.
Yang dilakukan oleh mas Salman dan tim Bentangnya adalah dengan memunculkan sebuah bacaan yang bisa dinikmati sekali duduk, Snackbook namanya. Sebuah jeda ketika kita antri di bank, menunggu angkutan umum bisa digunakan oleh kaum pembaca milenial kita yang konon tak bisa lepas dari gawainya, untuk membaca sebuah cerita pendek misalnya. Dari sinilah kita sebagai orang yang peduli dengan gerakan literasi di Indonesia, untuk terus menumbuhkan minat baca anak-anak mudanya. Karena memang memprihatinkan sekali jika melihat minat baca anak muda saat ini yang hanya 0,001 yang artinya dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang gemar membaca. Itu baru pekerjaan rumah yang sesungguhnya bagi kita di dunia literasi. Bagi industri buku, volume pasar buku di Indonesia hanya sekitar 693 juta dolar yang dihimun dari 700-an toko buku secara nasional. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jerman yang jumlah penduduknya lebih kecil dari Indonesia, memiliki nilai pasar buku yang mencapai 4,64 miliar Euro, setara dengan 137 triliun rupiah. Yah, itu kalo buat Indonesia mungkin bisnis bisa untuk jangka panjang juga.
Jadi kalo sudah seperti itu apa yang bisa kita lakukan selain secara terus menerus bergerak bersama zaman dan beradaptasi dengan apa yang sedang terjadi pada budaya membaca kita. Saya rasa pasar buku Indonesia masih akan terus berkembang, seperti apa yang Dea Anugrah katakan dalam salah satu wawancaranya, saya tidak percaya kiamat karena dunia akan selalu berkembang.
Nah, kalo untuk yang satu itu, saya enggak bisa jelasin deh.