Siapa yang Mencari Hilal?

Hari Sabtu yang lalu saya mendapatkan sebuah kesempatan istimewa dari Mizan Media Utama untuk menghadiri preview salah satu film terbaik karya anak negeri berjudul Mencari Hilal. Bertempat di sebuah mall terkenal di Bandung, preview film ini ternyata juga dihadiri oleh puluhan relasi, blogger, dan beberapa komunitas yang berhubungan dengan film dan buku.

Mencari Hilal bercerita tentang hubungan ayah dan anak yang menjadi bagian sentral dalam kisah ini. Sang ayah bernama Mahmud dan Heli anaknya yang ternyata berbeda pandangan dalam banyak hal dengan ayahnya. Dikisahkan Mahmud adalah seorang pedagang toko sembako yang cukup senior, menjalankan agama Islam secara kaffah dan selalu berpendapat bahwa Islam adalah jalan satu-satunya bagi semua persoalan manusia. Berbeda dengan Heli anaknya yang kemudian menjadi aktivis perdamaian yang sedang mencari jalan menuju Nicaragua untuk sebuah misi, pandangan hidup Heli yang bebas, idealis dan tidak mau dikekang ini menjadikannya sulit untuk berkomunikasi dengan ayahnya.

Suatu ketika, Mahmud yang selalu berusaha untuk berjualan sembako dengan menganut azas berjualan untuk beribadah ini ternyata menimbulkan keresahan di kalangan pedagang lain, karena harga di tokonya yang dianggap terlalu murah. Kericuhan ini berbuntut pada fakta kecil diantara keributan para pedagang yang datang ke rumahnya bahwa ternyata Mahmud baru mengerti bahwa sidang Isbat oleh pemerintah yang akan digelar untuk menentukan 1 Syawal pada akhir bulan Ramadhan mampu menghabiskan biaya hingga 9 miliar rupiah. Mahmud yang sejak kecil di pesantren dan tahu bagaimana mencari hilal yang menjadi cara rukyat bagi penentuan 1 Syawal ini, sontak kaget dan berusaha mencari cara yang dianggap lebih murah dan sesuai dengan anjuran agama. Dari sini perjalanan Mahmud yang sudah renta ini pun dimulai dengan ditemani oleh anak bungsunya yang terpaksa harus ikut serta karena dorongan kakak perempuannya.

143563252912555_496x330

Saya melihat bagaimana kisah Mencari Hilal yang disuguhkan kali ini tidak hanya berusaha mengangkat nilai-nilai Islam secara lebih menyeluruh dalam kaitannya dengan hubungan sosial kemasyarakatan tetapi juga berusaha mengangkat kembali usaha tentang bagaimana membangun Indonesia tanpa diskriminasi. Dengan mengusung ide sebuah gerakan Islam Cinta, film Mencari Hilal saya rasa sukses menunjukkan hal itu ke dalam layar lebar. Ditayangkan beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah, menjadikan film ini sebuah tayangan menarik yang mengangkat nilai-nilai paling mendasar agama dalam kehidupan sehari-hari yaitu menebarkan cinta dan kasih.

Perjalanan tokoh Mahmud yang beranggapan bahwa hilal dapat ditemukan dengan hanya melihat dari sebuah bukit yang cukup tinggi di sebuah kawasan dekat pantai yang diketahuinya sejak masih kecil, menyuguhkan nilai penting yaitu keteguhan dalam beragama. Kemudian sosok anak lelakinya yang bernama Heli yang meski berat dan kerap bersitegang dengan pemikiran ‘kolot’ ayahnya, menghadirkan pemahaman tersendiri bagi seorang pemuda sepertinya di Indonesia saat ini, betapa ternyata nilai-nilai luhur dalam beragama yang dicontohkan oleh ayahnya mampu merubah penilaiannya terhadap agama dan sosok ayahnya sendiri. Secara pribadi kisah dalam Mencari Hilal ini sedikit banyak mirip dengan sebuah film asal Prancis yang pernah saya tonton di mana seorang anak harus mengantarkan ayahnya untuk pergi berhaji dari kota asalnya di Prancis hingga ke Mekkah dengan menggunakan mobil. Hubungan ayah dan anak yang berusaha dijalin dalam kedua kisah tersebut benar-benar memukau dan memikat hati, terlepas dari bagaimana akhir dari kedua film tersebut. Hanya saja perkara mencari hilal kemudian menjadi sesuatu yang sangat Indonesia sekali dalam beberapa tahun terakhir ini, bisa jadi setelah pasca reformasi saja urusan mencari hilal ini bisa menjadi begitu menarik perhatian bukan hanya para petinggi dan pemangku jabatan tetapi juga masyarakat kelas bawah.

Bisa jadi dorongan akan keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat yang begitu gencar digalakkan oleh pemerinta pasca reformasi membuat urusan mencari hilal ini menjadi sesuatu yang penting dan diketahui oleh orang banyak. Tidak seperti jaman dahulu ketika Orde Baru masih berjaya di mana orang sudah tahu pasti kapan 1 Ramadhan dimulai dan kapan 1 Syawal dijelang. Rumor yang menyebutkan bahwa sidang Isbat bisa menelan biaya hingga miliaran rupiah itu pun ternyata menyentil seorang bapak tua bernama Mahmud dalam kisah ini. Hal ini mengingatkan kita bahwa rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa dan bahkan kerap menjadi isu penting dalam setiap keputusan yang dibuat oleh pemerintah ternyata mampu berbuat sesuatu dalam hidupnya yang sudah susah itu.

Makna pencapaian, keteguhan dalam menjalankan ibadah dalam beragama ditunjukkan dengan jelas dalam sosok Mahmud di samping tentang bagaimana mencontohkan kepada anaknya tentang beragama yang benar. Salah satu hal yang menjadi menarik adalah tentang bagaimana kisah ayah dan anak ini menjadi demikian membuat hati trenyuh menyaksikannya dalam pencarian hilal ini. Makna hilal yang menjadi tujuan akhir dalam kisah ini pun seolah menjadi sebuah pencapaian kebahagiaan tersendiri bagi Mahmud. Sebuah jenis kebahagiaan yang menurut Aristoteles hanya bergantung pada diri sendiri. Tentang bagaimana kebahagiaan itu diraih menjadi persoalan yang sepenuhnya ada jalannya dalam diri sendiri dan hal ini dilakukan oleh Mahmud bersama anaknya Heli yang mencari Hilal. Dan bisa jadi kebahagiaan itu sendiri tidak berada jauh-jauh seperti ketika Mahmud yang mencari Hilal, ia hanya perlu merubah sudut pandangnya sedikit saja.

Pada akhirnya saya berpendapat bahwa film ini cukup layak menjadi sebuah film yang berkelas menjelang hari raya Idul Fitri. Menebarkan cinta kasih sebagai bagian paling esensial dalam kehidupan beragama di Indonesia yang begitu majemuk ini tentu bukan perkara yang sepele. Sebuah usaha membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang bebas dari bermacam diskriminasi yang ada selama ini tentu sebaiknya didukung. Nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial kita sebagai anak bangsa perlu selalu diingatkan kembali dan saya rasa hal ini cukup berhasil dilakukan Mencari Hilal sebagai sebuah pemantik akan ide Indonesia yang lebih baik. Selamat!

Bentang dan Apa Artinya Bagi Saya

Ini adalah tulisan yang saya buat dengan ketulusan yang ikhlas dan apa adanya tentang apa yang saya rasakan dan saya alami selama saya mengenal Bentang Pustaka dan buku-buku yang diterbitkannya. Pertama kali saya mengenal ada sebuah penerbitan bernama Bentang adalah sewaktu saya menghabiskan masa sekolah SMP hingga SMA di Jogjakarta. Ketika masa itulah saya sedang giat-giatnya membaca buku sastra. Saya juga ingat betapa selama di Jogjalah hasrat saya untuk memperluas bacaan saya semakin tinggi. Dari anak SMP yang biasanya hanya membaca buku-buku komik kemudian membaca buku-buku yang lebih serius seperti buku sastra. Beberapa buku yang saya baca ketika itu mengantarkan saya pada keinginan untuk menjadi penulis sastra. Dari mulai membaca buku Seno Gumira Ajidarma sampai pada buku-buku Kahlil Gibran keluaran Bentang yang ketika itu masih bernama Bentang Budaya.

Salah satu yang mudah dikenali dari Bentang ketika itu adalah dari logonya yang menurut saya cukup memorable karena mudah diingat. Jadi ketika dulu saya berkunjung ke toko buku dan melihat di deretan  rak di toko buku Social Agency yang kadang display bukunya ditumpuk berdiri sehingga yang bisa dilihat hanya judul buku dan logo penerbit di punggung buku yang dipajang saja membuat saya mudah menemukan buku-buku terbitan Bentang Budaya. Dan ketik itu saya sedang senang-senangnya pada buku-buku Kahlil Gibran. Memang saat itu umur saya masih terbilang remaja, tetapi meskipun kadang saya tidak mengerti dengan buku-buku Kahlil Gibran saya menyukainya karena kalau cewek-cewek dulu “romantis”. Dan memang benar saja cover buku Bentang Budaya ketika itu juga lain dari pada yang lain. Karena biasanya cover dibuat dengan karya seni lainnya seperti lukisan, yang banyak sekali mewarnai cover buku Bentang ketika itu.

kematian-sebuah-bangsa images cinta keindahan kesunyian nietzsche

Saya kemudian berpikir bahwa bisa jadi karena rangkaian pengalaman menarik ketika membeli sebuah buku dan kemudian buku-buku dari penerbit tersebut begitu menarik sehingga ketika ada buku lain dengan tema berbeda pun saya tetap mencari buku dari penerbit yang sama. Hal ini terjadi ketika saya suatu hari pernah membeli buku terbitan Bentang Budaya ketika di Bandung, dan buku itu adalah sebuah buku biografi Friedrich Nietszche, dari situ juga saya mengenalinya karena buku itu adalah salah satu terbitan Bentang Budaya. Saya membeli buku itu karena saya ingin belajar mengenal dunia filsafat dan Nietszche menjadi pilihannya. Oia, buku-buku di atas adalah beberapa dari koleksi Bentang Budaya yang saya miliki.

Lantas bertahun-tahun kemudian bacaan saya berkembang ke mana-mana dan tidak terfokus pada satu penerbit. Karena ya memang sejak reformasi semakin banyak saja penerbit buku yang kemudian berdiri dan cukup berkembang. Bentang Budaya yang ketika itu mengalami fase penurunan dalam hal produksi buku membuat saya kemudian sempat lupa dengan penerbit satu ini. Barulah ketika tahu bahwa ternyata Bentang Budaya diakuisisi oleh salah satu penerbit besar lainnya dari Bandung, Mizan. Saya kemudian mulai melirik kembali buku-buku terbitan Bentang berikutnya yang lantas namanya berganti menjadi Bentang Pustaka.

Di tahun 2013 lalu saya kemudian berkesempatan menimba ilmu menulis dan mengetahui seluk beluk dunia penerbitan melalui Bentang Pustaka yang mengadakan sebuah kelas menulis bernama Akademi Bercerita. Dari sini kemudian saya bisa mengenal orang-orang di belakang layar dari setiap buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka saat ini. Kemudian dari sini pulalah saya baru menyadari betapa berbedanya buku-buku yang diterbitkan oleh Bentang Budaya dulu dengan Bentang Pustaka sekarang.

Meskipun saat ini Bentang sudah mulai memperbanyak terbitan buku karya sastranya, tetapi orang mungkin lebih mengetahui Bentang Pustaka sebagai sebuah penerbitan besar yang banyak menerbitkan buku-buku populer saat ini sebut saja seperti Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya, lantas ada serial Supernova milik Dee Lestari, belum ditambah dengan berbagai macam buku mengenai travelling di mana The Naked Traveller milik Trinity menjadi primadonanya. Karena buku-buku seperti inilah kemudian saya lebih menyukai Bentang Pustaka yang ada sekarang. Terlihat bagaimana penerbit yang konon berdiri tahun 1994 ini, kemudian bertransformasi menjadi sebuah penerbitan yang berusaha menjangkau kalangan pembaca yang lebih luas lagi.

Akhir kata, kemudian saya jadi lebih banyak bergaul dan kenal dengan orang-orang hebat di Bentang Pustaka. Mas Salman Faridi sebagai CEO dan Mas Imam Ridiyanto sebagai Pemimpin Redaksi telah memberikan pelajaran menulis, pengenalan dunia penerbitan dan kadang ide-ide segar yang sekali dua kali terlontar ketika sedang dalam diskusi yang menarik. Terima kasih juga untuk Mas Solahuddin yang mengenalkan dan mengikutsertakan saya pertama kali dalam kelas Akademi Bercerita. Tak terasa sudah hampir dua tahun main bolak-balik ke Bentang Pustaka dan bertemu orang-orang kreatif di belakang layar penerbitan. Saya berharap suatu hari saya bisa menjadi salah satu penulis di Bentang Pustaka. Akan menjadi sebuah kebanggaan luar biasa bagi saya menjadi salah satu penulis dari penerbitan yang sudah sejak remaja saya kenal lewat buku-bukunya.

Dan mungkin rasanya memang seperti itu, ketika suatu pengalaman baik di masa kecil akan selalu terbawa sampai kapan pun. Hari ini Bentang Pustaka berulang tahun yang ke 11 tahun sejak pertama kali diakuisisi oleh Mizan. Sebuah angka yang menarik dan semoga penuh keberuntungan. Semoga penerbit dari Jogja ini bisa terus menerbitkan karya-karya menarik di tahun-tahun berikutnya. Saya berdoa penuh harap.

Salam.