Saya mengenali Ziggy dari namanya belakangnya yang panjang dan unik itu. Saya beberapa kali melihat namanya muncul dalam buku-buku karyanya yang bergenre fantasi atau romance remaja. Tidak ada ketertarikan sama sekali untuk mengetahui lebih jauh tentang penulis ini selain fakta bahwa beliau cukup banyak menulis buku dengan berbagai genre tersebut. Hingga kemudian muncullah namanya dalam daftar salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 yang lalu, di mana bukunya berjudul Tanah Lada menang juara kedua. Sampai di sini pun saya sebenarnya cukup kaget, ada penulis bergenre fantasi dan romance yang ternyata bisa menghasilkan sebuah naskah yang cukup diakui oleh dewan juri lomba DKJ yang terbilang mentereng itu. Tetapi toh ternyata saya juga tidak tergerak untuk membaca karyanya yang lain karena tidak ada urgensi untuk mengetahui lebih jauh dan masih ada banyak buku penulis lain yang menggoda untuk saya baca.
Baru kemudian di awal tahun 2017 saya dengar kabar bahwa naskah terbaru Ziggy berjudul Semua Ikan di Langit kali ini masuk daftar pemenang lomba DKJ yang sama dan tidak cukup sampai situ saja, kali ini naskah tersebut menjadi satu-satunya pemenang yang diakui oleh dewan juri di samping adanya 4 naskah unggulan yang mereka umumkan. Dari sinilah saya kemudian tergerak untuk mencari tahu, dalam hal ini tentu saja saya mencari tahu karyanya lebih dahulu. Tetapi sebelum itu saya ingin sekali memberi tahu poin yang disampaikan dewan juri DKJ ketika memutuskan memenangkan naskah ini, mereka menganggap bahwa Semua Ikan di Langit ditulis dengan keterampilan bahasa yang berada di atas rata-rata para peserta lainnya dan ada perbedaan mutu yang tajam antara naskah ini naskah pemenang unggulan yangmembuat mereka tidak memilih adanya pemenang kedua atau ketiga tahun ini.
Semua Ikan di Langit berkisah dari tokoh utama yang ternyata adalah sebuah bus berwarna biru di Bandung yang kita ketahui sebagai bus Damri. Dari sini saja rasanya sudah membuat pembaca berkerut keningnya membayangkan apa yang akan dialami oleh sebuah bus kota trayek Dipatiukur-Leuwipanjang ini dalam buku ini. Bus Damri yang gembrot dan mampu berkomunikasi dan makhluk apa saja melalui lantai busnya. Bus ini kemudian bertemu dengan seorang bocah cilik yang mengambang dengan jas hitam yang terlalu besar untuk anak seusianya dan ini yang lebih ajaib lagi, anak ini ke mana-mana selalu diikuti oleh beberapa ikan julung-julung! Bersama dengan seekor kecoak bernama Nad, mereka bertualang ke berbagai tempat, bahkan mengelilingi angkasa juga melintasi ruang dan waktu.
Petualangan bus biru ini digambarkan begitu rupa dan menabrak berbagai logika cara berpikir kita yang kadang begitu terkotak-kotak dan mengharapkan sebuah analogi yang cukup masuk akal ketika pertama membaca buku ini di halaman-halaman awal. Tunggu sebentar, itu tidak akan terjadi. Karena seperti yang bus biru katakan sendiri,
“ Saya pernah menjadi bus biasa. Lalu saya terbang. Kali pertama itu, inilah yang saya pikirkan: Barangkali saya bisa turun. Tapi tidak bisa. Coba berhenti. Tapi tidak bisa. Ke kanan. Tapi tidak bisa. Saya terus maju, maju, maju mengikuti ikan julung-julung. Roda saya tidak berputar. Tapi saya terus naik, terus maju, menabrak awan dan tidak berhenti juga.” (hal.9)
Kata demi kata seolah dipilih untuk mempertanyakan kembali imajinasi kita yang kadang semakin tua semakin tumpul. Bagaimana caranya sebuah bus kota gembrot dan besar itu bisa terbang begitu saja dan pergi mengikuti ikan julung-julung yang kemudian mengantarkannya kepada anak kecil yang selanjutnya disebut sebagai Beliau? Semua pertanyaan kita akan sesuatu yang masuk akal sebaiknya berhenti kita lakukan, sebagai pembaca kita diharapkan untuk terus membaca karena tidak perlu berkerut dahi hanya untuk mempertanyakan tentang logika dan semacamnya dalam buku ini. Yang ditawarkan dari sini adalah pengalaman dan petualangan yang enteng dan kadang jenaka.
Semakin jauh kita membaca kisah bus Damri ini tentu saja semakin banyak kelopak misteri yang akan kita temukan terbuka. Seperti misalnya kisah tersirat mengapa Beliau tidak makan dan tidak tidur, tidak pernah menapakkan kakinya di lantai dan selalu terbang dan mencipta berbagai hal yang ajaib. Saya menemukan bahwa Beliau sendiri rasanya lebih cocok sebagai manifestasi dari Tuhan, sang Maha segalanya yang dalam buku ini diabadikan sebagai seorang anak kecil yang senang dan berbahagia ketika orang lain bersikap baik padanya. Dan mampu melakukan hal yang jahat pulan jika hatinya tersakiti.
“Mungkin saya harus berhenti mempertanyakan kemampuan Beliau dalam membela dirinya. Beliau memang tidak secara langsung menghajar orang yang kurang ajar, tapi Beliau bisa menjahit mata mereka, atau melakukan sesuatu yang membuat mereka menderita dalam jangka waktu panjang dengan keajaibannya.” (hal. 107)
Beberapa hal dan adegan digambarkan secara tersirat dalam menggambarkan Tuhan, penciptaan, dosa dan pahala juga tentang sifat-sifat Tuhan yang manusia pahami selama ini. Menyiratkan hal-hal seperti ini dalam bungkusan cerita fiksi dengan gaya bercerita seorang anak-anak rasanya begitu cerdik dilakukan oleh Ziggy sehingga orang bisa bersikap dalam dua hal tentang buku ini. Pertama, kita bisa mengganggap buku ini mengangkat hal-hal spiritualisme dengan pendekatan yang sesederhana mungkin dan tentu saja hal ini cukup sentimental bagi saya pribadi. Seperti saat saya selalu mencari-cari tanda yang Ziggy tulis untuk menyiratkan hal tersebut. Kedua, nikmatilah petualangan ajaib dan absurd ini tanpa pretensi apapun selain untuk hiburan pengusir kebosanan dan rutinitas yang menjemukan dari hari-hari kita yang sudah terjadwal. Dan jangan kaget ketika beberapa hal seolah bertabrakan dengan apa yang kita imajinasikan selama ini.
Saya pikir sebuah bus yang memiliki perasaan, terbang ke sana kemari dengan anak kecil berjas besar dan kecoak kecil bernama Nad dan jangan lupa ikan julung-julung yang selalu muncul setiap saat, itu sudah keajaiban yang luar biasa.