Bagaimana Sastrawan Melihat Gadgetisme Dalam Budaya Literasi Kita

Hari Selasa (21/2) kemarin salah satu sastrawan besar Indonesia yang saya idolai datang ke Galeri Soemardja Book Fair 2017 dan melakukan orasi kebudayaan yang menarik. Jarang sekali saya melihat Seno Gumira Ajidarma datang ke sebuah acara dan bicara tentang kebudayaan. Meski kemudian hal yang dia angkat kembali lagi ke dunia literasi kita secara umum dan budaya keberaksaraan kita secara khusus.

79e537178bd34aac65bbd356a64669dbFoto dari AyoBandung.com

Beliau menyoroti bagaimana gadgetisme menjadi hal yang cenderung menakutkan dengan begitu cepatnya perkembangan teknologi yang berimbas pada cara kita berkomunikasi sekaligus membaca. Teks datang silih berganti begitu cepat dan begitu banyak di hadapan layar ponsel kita. Seno melihat ini sebagai sebuah gejala yang memang tidak bisa dihindari tetapi seharusnya bisa kita sikapi dengan lebih jernih. Beliau berkisah bahwa ketika jaman sekarang telepon genggam menjadi bagian dari kehidupan kita, hal ini memunculkan budaya membaca cepat dan ringkas, membuat orang tidak bisa lepas dari telepon genggamnya.

“Kalo orang kita sekarang ini, kehilangan hape saja rasanya seperti sudah terputus dari dunia. Saya hidup di mana semua ini belum dimulai dan saya pernah merasakan kehilangan hape, dan dunia kok rasanya baik-baik saja.”

Ketika budaya membaca cepat dan ringkas ini semakin bergerak bebas, yang menjadi ancaman tentu saja dunia literasi kita. Indonesia sendiri masuk dalam urutan ke-3 terbesar dalam hal para pengguna media sosial Facebook, tetapi jika menyangkut minat baca kita yang masuk urutan 60 dari 61 negara yang disurvey di mana hanya ada 1 orang yang membaca di antara 1000 orang masyarakat kita hal ini yang disebut oleh Seno sebagai kelisanan sekunder. Karena sejatinya dengan serbuan berbagai macam teks di layar telepon genggam itu, kita tidak memiliki waktu untuk merenung dan melakukan refleksi diri. Yang ada hanya serapan visual akan apa yang disuguhkan orang lain kepada kita. Seno berkata pula bahwa dengan membaca kita bisa menjadi diri sendiri. Karena dunia dalam buku bacaan begitu kaya, imajinasi lebih mengambil peran dalam proses pembacaan, sedangkan budaya serapan visual hanya menyuguhkan berbagai macam hal yang hanya mampu kita terima. Akan lebih baik jika kita bisa memposisikan gadget saat ini sekadar sebagai alat.

Menyangkut maraknya berita hoax itu pula, beliau berkata bahwa,

“Dalam hoax tidak ada lagi refleksi yang ada hanya nafsu untuk memaki. Membuat orang menjadi fanatik itu bodoh akan tetapi orang yang pura-pura fanatik itu lebih jahat.”

Rangkaian berita yang entah bagaimana verifikasi kebenarannya itu disuguhkan di sekitar kita 24 jam setiap hari tanpa sempat lagi kita berpikir dan merefleksi diri.

Saat itu saya berpikir bahwa memang benar situasi yang ada di sekitar kita saat ini. orang harus pandai-pandai berstrategi untuk menyikapi bukan hanya begitu banyak konsumsi budaya visual dan budaya tulisan yang muncul dalam gadget kita setiap hari tetapi juga bagaimana kita bisa menyikapi dan mengambil jarak akan setiap informasi yang kita terima. Minta baca kita yang rendah menjadi sasaran paling empuk bagi para pemilik sumber berita untuk menyuguhkan apa saja ke dalam pikiran kita dan tak diberikannya waktu untuk berpikir. Padahal bagi seothrift rang penulis tentu saja kata-kata digunakan untuk mengakomodir gagasannya pribadi dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak ramai. Imajinasi digunakan untuk melepaskan diri dunia rutinitas yang kita ketahui belaka. Ketik ruang untuk berimajinasi ditutup dan bahkan dikotak-kotakkan yang ada hanyalah sekumpulan orang yang dapat dengan mudah digiring pada suatu kepentingan tertentu.

Rasa-rasanya kepala menjadi perlu berhenti sejenak dan berpikir ulang tentang semuanya. Bagaimana hendak mengajak satu orang membaca buku jika layar telepon genggam terus dipegangnya dan menyuguhkan ragam tulisan ringkas dan cepat begitu banyak dan lebih menarik?

Pelan-pelan saya menjadi lelah meski tetap berusaha optimis.

3 thoughts on “Bagaimana Sastrawan Melihat Gadgetisme Dalam Budaya Literasi Kita

Leave a comment