Bandung dan Dunia Literasinya

Saya selalu iri sekaligus bangga dengan lingkungan literasi yang semakin hari semakin tumbuh di Yogyakarta saat ini. Bagaimana tidak, semua tentang buku dan berbagai event digelar dari yang berbayar hingga yang gratis. Tetapi dengan gratis tentu saja tidak berarti acara yang digelar tidak bermutu. Justru banyak event buku atau bedah buku digelar secara gratis sekaligus bermutu tinggi.  Tapi tunggu, kenapa saya memulai tulisan ini dengan semua yang terjadi dalam dunia literasi Yogyakarta ya? Karena bisa jadi dalam hal itulah Bandung belum bisa menyamai pencapaian Yogyakarta dalam menggelar berbagai event atau menggerakkan komunitas literasinya.

Saya menulis ini tentu tidak untuk membanding-bandingkan lingkungan literasi yang ada di dua kota tersebut. Karena sejujurnya, siapalah saya yang dengan serta merta berusaha menilai kancah literasi dua kota besar itu. Yang menjadi menarik juga adalah bahwa komunitas yang ada di Bandung sebenarnya tidak sedikit, bahkan bisa dibilang banyak dan perlahan tapi pasti juga sedang menapakkan kakinya di dunia literasi bangsa kita. Tak perlulah menyebutkan secara spesifik beberapa komunitas yang tentu teman-teman sekalian sudah pernah datangi beberapa tahun belakangan ini. Semuanya saya rasa menarik dan patut untuk diapresiasi.

Dalam hal kaitannya dengan dukungan pemerintah, sudah ada bentuk konkret dari pemerintah kota Bandung untuk membuat sebuah perpustakaan kecil terletak di Lapangan Gasibu yang sudah tentu menjadi barang baru selama beberapa tahun terakhir ini di lapangan yang selalu menjadi tempat berkumpul anak muda tersebut. Dengar-dengar sebuah perpustakaan yang tak kalah besar juga sudah disiapkan di Alun-alun Bandung yang menjadi kebanggaan kota Bandung saat ini. Hal-hal ini tentu saja menjadi semacam dorongan bagi penggerak literasi di Kota Kembang dalam mengembangkan literasi di kotanya. Tentu saja  dengan adanya perpustakaan tidak serta merta membuat orang-orang berdatangan ke sana dan membaca buku. Harus ada sebuah langkah konkret yang dibuat oleh pemerintah untuk hal itu.

Kemudian muncullah wadah independen dari beberapa komunitas di Bandung yang menggelar berbagai event buku. Akhir tahun 2016 kemarin kita bisa melihat adanya sebuah event literasi yang jarang sekali kita bisa nikmati yang diadakan di Gedung Indonesia Menggugat, di acara yang berlangsung selama satu minggu penuh itu, pengunjung bisa bertemu dengan berbagai penerbit yang entah mengapa saat itu di dominasi oleh penerbit bukan dari Bandung, juga beberapa lapak buku khusus yang menggelar buku-buku langka dan patut dikoleksi. Tak kalah dari itu, berbagai diskusi dan pembacaan karya juga memenuhi jam pagelaran literasi tersebut. Secara pribadi baru kali itu saya melihat sebuah event yang digagas dengan unik, secara mandiri bisa menghasilkan acara yang berbeda dari pameran buku pada umumnya. Saya pikir hal inilah yang perlu dilakukan lebih sering di kota Bandung tercinta ini.

Lapak buku baik online maupun offline juga banyak di Bandung, perpustakaan yang konsisten dengan tema dan koleksi bukunya yang ajaib juga bisa ditemukan di kota ini. Lantas mengapa saya bilang dunia literasi Bandung masih kalah dari Yogyakarta? Bagaimana dengan dunia penerbitan indienya? Dalam hal ini saya rasa menjadi hal yang esensial dalam mengembangkan kancah literasi kota ini. Jika melihat kota Yogya yang memiliki banyak sekali penerbitan indie, sekaligus memunculkan banyak penulis baru dengan berbagai gaya tulisan, semakin memperkaya dunia buku di kota tersebut. Belum lagi ditambah dengan buku-buku terjemahan yang kualitasnya tidak kakalh dengan penerbit major. Lantas mengapa hanya sedikit sekali penerbitan mandiri yang ada di kota ini?

Jika melihat apa yang dikatakan salah satu teman yang memiliki penerbitan indie di kota Yogya, (saya rasa juga tak perlulah menyebutkan namanya di sini) penerbitan indie Yogya marak kembali karena biasanya mereka berangkat dari penjualan buku secara online yang mereka rintis, dengan semakin berkembangnya buku-buku dari berbagai macam penulis tersebut, membuat toko online ini pun perlu punya produk sendiri yang mereka kelola dengan baik sehingga ketika ada masa di mana buku kelompok penerbit major sedang tidak ramai, mereka tetap punya lini penjualan yang bisa mereka kontrol dengan mendorong produk-produk buku mereka sendiri. Saya rasa inilah yang perlu kita contoh di Bandung. Toh saya rasa anak mudanya juga cukup banyak, tak perlu disangkal lagi iklim kreatifitas di kota ini tumbuh subur di berbagai lini seperti musik, seni dan budaya. Lantas mengapa tidak dengan dunia literasinya?

Awal tahun ini saya mengikuti sebuah gerakan #1minggu1cerita yang digagas oleh sejumlah teman yang ternyata sampai sekarangmasih giat untuk mengembangkan gerakan ini. Saya tak punya prentensi atau harapan apa-apa dengan mengikuti ini selain hanya untuk mendorong saya lebih giat menulis karena kok rasanya kemampuan saya menulis juga menurun seiring banyaknya kesibukan setiap hari. Saya selalu rindu menulis cerita, memberikan pendapat saya secara jujur kepada selembar kertas kosong, membagikannya kepada mereka yang mungkin juga senang membaca dan kemudian menularkan virus menulis yang dengan begitu harapannya semakin banyak orang yang menulis, entah itu menulis cerita pendek, novel, artikel, hingga kemudian ada sebuah penerbitan yang berani menerbitkan kumpulan tulisanmu menjadi sebuah buku dan karyamu bisa dibaca banyak orang secara luas.

Semoga ikhitiar kecil ini bisa berguna untuk orang banyak, mari mulai menulis #1minggu1cerita

Salam.

4 thoughts on “Bandung dan Dunia Literasinya

  1. Sebagai nerd yang suka nongkrong di perpustakaan, saya paling senang kalo makin banyak perpustakaan di mana-mana apalagi di Bandung. Jaman SMA dulu biasanya sesekali ke Perpus Cikapundung numpang baca komik :D. Sekarang setelah punya anak, berharap makin banyak perpustakaan untuk anak-anak yang bisa ditongkrongin. Makasih sharingnya

    Dan salam kenal 🙂

    Like

Leave a reply to arielseraphino Cancel reply